Tersebutlah seorang penganut tasawuf bernama Nidzam
al-Mahmudi. Ia tinggal di sebuah kampung terpencil, dalam sebuah gubuk kecil.
Istri dan anak-anaknya hidup dengan amat sederhana. Akan tetapi, semua anaknya
berpikiran cerdas dan berpendidikan. Selain penduduk kampung itu, tidak ada
yang tahu bahwa ia mempunyai kebun subur berhektar-hektar dan perniagaan yang
kian berkembang di beberapa kota besar. Dengan kekayaan yang diputar secara
mahir itu ia dapat menghidupi ratusan keluarga yg bergantung padanya. Tingkat
kemakmuran para kuli dan pegawainya bahkan jauh lebih tinggi ketimbang sang
majikan. Namun, Nidzam al-Mahmudi merasa amat bahagia dan damai menikmati
perjalanan usianya.
Salah seorang anaknya pernah bertanya, `Mengapa Ayah tidak
membangun rumah yang besar dan indah? Bukankah Ayah mampu?""Ada
beberapa sebab mengapa Ayah lebih suka menempati sebuah gubuk kecil,"
jawab sang sufi yang tidak terkenal itu. "Pertama, karena betapa pun
besarnya rumah kita, yang kita butuhkan ternyata hanya tempat untuk duduk dan
berbaring. Rumah besar sering menjadi penjara bagi penghuninya. Sehari-harian
ia Cuma mengurung diri sambil menikmati keindahan istananya. Ia terlepas dari
masyarakatnya. Dan ia terlepas dari alam bebas yang indah ini. Akibatnya ia
akan kurang bersyukur kepada Allah."
Anaknya yang sudah cukup dewasa itu membenarkan ucapan
ayahnya dalam hati. Apalagi ketika sang Ayah melanjutkan argumentasinya,
"Kedua, dengan menempati sebuah gubuk kecil, kalian akan menjadi cepat
dewasa. Kalian ingin segera memisahkan diri dari orang tua supaya dapat
menghuni rumah yang lebih selesa. Ketiga, kami dulu cuma berdua, Ayah dan Ibu.
Kelak akan menjadi berdua lagi setelah anak-anak semuanya berumah tangga.
Apalagi Ayah dan Ibu menempati rumah yang besar, bukankah kelengangan suasana
akan lebih terasa dan menyiksa?"
Si anak tercenung. Alangkah bijaknya sikap sang ayah yang
tampak lugu dan polos itu. Ia seorang hartawan yang kekayaannya melimpah. Akan
tetapi, keringatnya setiap hari selalu bercucuran. Ia ikut mencangkul dan
menuai hasil tanaman. Ia betul-betul menikmati kekayaannya dengan cara yang
paling mendasar. Ia tidak melayang-layang dalam buaian harta benda sehingga
sebenarnya bukan merasakan kekayaan, melainkan kepayahan semata-mata. Sebab
banyak hartawan lain yang hanya bisa menghitung-hitung kekayaannya dalam bentuk
angka-angka. Mereka hanya menikmati lembaran-lembaran kertas yang disangkanya
kekayaan yang tiada tara. Padahal hakikatnya ia tidak menikmati apa-apa kecuali
angan-angan kosongnya sendiri.
Kemudia anak itu lebih terkesima tatkala ayahnya meneruskan,
"Anakku, jika aku membangun sebuah istana anggun, biayanya terlalu besar.
Dan biaya sebesar itu kalau kubangunkan gubuk-gubuk kecil yang memadai untuk
tempat tinggal, berapa banyak tunawisma/gelandangan bisa terangkat martabatnya
menjadi warga terhormat? Ingatlah anakku, dunia ini disediakan Tuhan untuk
segenap mahkluknya. Dan dunia ini cukup untuk memenuhi kebutuhan semua
penghuninya. Akan tetapi, dunia ini akan menjadi sempit dan terlalu sedikit,
bahkan tidak cukup, untuk memuaskan hanya keserakahan seorang manusia
saja."
Tidak ada komentar:
Posting Komentar